Gara-gara ngotot ingin mempertahankan proyek pengayaan uranium, Iran kini jadi sorotan Barat. Berbagai upaya diplomasi dilakukan agar Teheran mau menghentikan proyek tersebut. Seperti halnya nasib Irak, kemungkinan opsi untuk menyerang Iran dengan kekuatan militer tetap ada. Mampukah kekuatan udara Iran mencegah atau paling tidak mengganjal serangan itu?
Barat dan AS tak pernah tahu seberapa besar kekuatan udara Iran. Itulah masalah pertama yang mesti dibedah bila opsi serangan militer dilakukan. Selama ini semua informasi tentang kekuatan AU Iran atau Islamic Republic of Iran Air Force (IRIAF) sepenuhnya datang dari jaringan intelijen Israel. Ironisnya, kebanyakan info yang disajikan Tel-Aviv meleset. Dalam laporan disebutkan kalau kekuatan IRIAF tak sehebat dulu. Beragam jet tempur asal AS yang pernah dibelinya sebagian besar teronggok di darat akibat kelangkaan suku cadang.
Lain laporan di atas kertas, lain pula kenyataan di lapangan. Kejadian pada November 2003 lalu bisa jadi buktinya. Saat AS dan sekutunya melancarkan serbuan ke Irak, mereka sempat mencium formasi jet tempur F-14A Tomcat IRIAF dalam jumlah besar. Dari pantauan radar AWACS E-3 Sentry AU AS selama 20 menit, dipergoki sedikitnya ada 16 unit Tomcat yang terbang pada ketinggian 30.000 kaki di dalam wilayah udara Iran, dekat kota Dezful. Temuan ini merupakan yang terbesar sejak tahun 1997, ketika pesawat-pesawat AL-AS tanpa sengaja bertemu dengan sembilan pesawat sejenis di Selatan Teluk Persia.
Untuk meredam masalah tersebut, Barat bersalin taktik. Mereka tak lagi mengandalkan tenaga manusia. Sebagai gantinya, pengumpulan data lebih bergantung pada berbagai jenis perangkat penyadap. Mulai dari radar pengintai, wahana penyadap elektronik, pesawat pengintai, lalu satelit. Tapi sekali lagi, umumnya para pengamat militer Barat tetap berpijak pada data kekuatan militer Iran yang telah berumur lebih dari 20 tahun!
Kombinasi unik
Hasil temuan di lapangan memang membuktikan, F-14A Tomcat masih jadi tulang punggung kekuatan IRIAF. Kabarnya, Teheran baru akan menurunkan jet tempur digdaya yang hanya dimiliki AS dan Iran ini bila situasi sudah benar-benar gawat. Begitu pun, diluar Tomcat, IRIAF masih mengoperasikan beberapa tipe pesawat tempur lain. Sebut saja diantaranya adalah F-4 Phantom II, MiG-29A Fulcrum, Chengdu F-7M Airguard, Sukhoi Su-24MK Fencer-D, dan Mirage F1EQ.
Jelas kemampuan semua tipe jet tadi sudah akrab di telinga pilot-pilot tempur Barat. Persoalan justru datang dari senjata yang dibawanya. Tanpa disangka Teheran memasangi senjata yang tak lazim dipakai. Selama musim panas 2005 misalnya, pilot-pilot Barat kerap memergoki armada Su-24 Fencer IRIAF dibekali rudal antikapal C-802K-2 buatan Cina.
Masih dari Cina, tercatat Iran pernah memborong sejumlah rudal PL-7 (jiplakan Matra Magic Mk.II). Arsenal udara-udara jarak pendek ini dipakai buat melengkapi jet-jet MiG-29, F-4 Phantom II, dan F-5E/F Tiger. Sayang proyek benilai jutaan dollar itu gagal. Teheran sempat memprotes Cina atas kegagalan ini dan selanjutnya mengambil alih proyek secara penuh. Akibatnya sampai saat ini PL-7 hanya menjadi senjata standar bagi armada MiG-29 dan F-4 saja.
Bicara tentang kombinasi senjata ajaib IRIAF, tak sepenuhnya hanya bergantung pada barang-barang impor. Mereka sanggup pula memasok sendiri beragam tipe rudal. Soal bentuk bisa dipastikan setali tiga uang dengan rudal-rudal pasokan AS zaman Syah Iran berkuasa. Tipe pertama yang dijadikan basis adalah AIM-9P2 Sidewinder. Mengusung nama baru yaitu Fatter, kecuali bodi dan motor penggerak, seluruh perangkat avionik memakai buatan lokal.
Masih tentang rudal udara-udara, lagi-lagi disini industri militer lokal Iran yang pegang peranan. Dengan kemampuannya mereka berhasil memelihara tingkat kesiapan rudal jarak jauh AIM-54 Phoenix. Dari total 284 unit AIM-54 (termasuk 10 varian latih ATM-54A) yang dibelinya semasa Shah, diperkirakan pada 1999 IRIAF masih punya 160 unit dalam kondisi siap tempur. Atau bila dihitung sekitar 40 persen dari kemampuan semula. Selain diotak-atik sendiri, sejumlah komponen vital rudal kabarnya bisa didapat Iran dari jalur tak resmi.
Program Sky Hawk
Bagi Iran keberadaan sisa Phoenix serta Fatter jelas dianggap belum bisa memenuhi kebutuhan IRIAF. Oleh karena itu industri senjata lokal Iran mencoba untuk menciptakan rudal jenis baru. Kali ini yang jadi sasaran adalah rudal antipesawat (SAM) MIM-23B I-HAWK. Mengusung nama AIM-23 Sedjil, rudal ini disulap menjadi arsenal udara-udara. Sedjil terhitung sebagai rudal jarak sedang. Tercatat Iran mulai mengembangkannya pada tahun 1986.
Pihak Barat pun mengaku sudah mengetahui kehadiran Sedjil sejak lama. Diberi nama kode Project Sky Hawk oleh AS, program ini merujuk pada upaya Israel buat menyulap rudal antiradar berkecepatan tinggi AGM-78 Standard untuk menguber MiG-25 Foxbat. Di mata AS proyek Sky Hawk dianggap gagal lantaran mengusung banyak kelemahan. Kendala paling utama datang dari soal keselarasan kinerja radar AWG-9 milik Tomcat dengan rudal. Sistem pemandu pada rudal kelewat lemah untuk membaca sinyal-sinyal yang dikirim radar. Toh kendala tadi sudah bisa diatasi oleh Iran. Terbukti saat beroperasi sejumlah Tomcat IRIAF memang dibekali sedikitnya dengan tiga rudal Sedjil.
Selain untuk keperluan pertempuran udara, Iran juga merekayasa rudal HAWK bagi kebutuhan serang darat. Arsenal udara-permukan ini diberi nama Yasser. Untuk menciptakannya Iran mengkombinasi rudal MIM-23 HAWK dengan hulu ledak bom M-117 yang berbobot 375 kilogram. Jujur saja, untuk Yasser AS dan sekutu-sekutunya masih kebingungan buat menganalisa sistem pemandu. Beberapa pengamat memperkirakan rudal melesat dengan bantuan laser (laser designator). Sementara sisanya masih percaya, pengoperasian rudal tetap berpandu pada radar AWG-9 milik Tomcat. Dalam operasi udara, IRIAF memasang rudal Yasser pada armada F-14A dan F-4E Phantom II.
Pesawat Iran Sedang Menembakkan Roketnya
Sekadar tambahan, disamping rekayasa berkategori berat, Iran juga melakukan modifikasi kecil. Trik macam ini diterapkan pada sistem rel-rel peluncur rudal pada armada jet tempur F-4 dan F-14. Alhasil kedua pesawat tadi kini mampu meluncurkan rudal antipesawat R-73 (kode NATO AA-11 Archer) buatan Rusia.
Jet lokal
Bila dibedah lebih jauh, sebenarnya kemampuan industri militer Iran tak hanya sebatas memodifikasi atau rekayasa arsenal udara saja. Urusan rekondisi bahkan menciptakan pesawat tempur turut diladeninya. Adalah Islamic Republic Iran Aviation Industry Organization (IRIAIO) atau kerap disebut HESA yang bertanggung jawab terhadap program pembangunan kembali kekuatan udara Iran.
Proyek pertama yang cukup berhasil adalah melakukan proses manufaktur semua komponen yang dibutuhkan mesin Tomcat, Pratt&Whitney TF-30-PW-414. Bahkan menurut sumber orang dalam HESA, Iran sudah punya kemampuan merakit penuh mesin TF-30 dengan komponen lokal. Pernyataan itu jelas tak bisa ditelan bulat-bulat oleh Barat. Mereka masih meragukan, terutama untuk komponen kompresor mesin.
Selanjutnya HESA juga dipercaya menggarap dua program pengembangan pesawat militer lokal. Program pertama adalah menciptakan jet latih berkemampuan tempur, Shafaq. Info yang berhasil dihimpun menunjukkan pesawat ini punya banyak kemiripan bentuk dengan Yakovlev Yak-130. Hanya saja bagian sirip mengadopsi model ganda seperti jet serang Skorpion asal Polandia. Kemampuan melesat hingga kecepatan mach 1 plus beragam perangkat avionik berteknologi digital dipastikan jadi standar Shafaq. Berbasis pesawat ini ada peluang IRIAF bakal mengembangkannya untuk keperluan serang darat.
Program kedua dikenal dengan nama M-ATF air superiority fighter. Jujur saja, untuk proyek yang satu ini masih diselimuti kabut misteri. Teheran tak mau begitu saja meloloskan info-info tentang proyek ini. Bahkan lebih jauh lagi mereka seperti sengaja melansir sejumlah proyek-proyek tandingan untuk mengaburkan kondisi yang sebenarnya. Proyek jet tempur Saeqe-80 (Halilintar-80) misalnya, sempat diisukan sudah rampung. Digambarkan Saeqe-80 tak lain merupakan pembesaran skalatis dari jet latih-tempur F-5F dengan bekal mesin-mesin dari Rusia.
Masih dalam rangka taktik pengelabuan, info paling akhir yang bisa didapat menyebutkan kalau Iran juga meluncurkan varian Saeqe-2. Basis yang dipakai untuk pengembangan adalah F-5E. Namun bagian sirip ekor pesawat ini dirombak menjadi model V. para pengamat barat lebih percaya kehadiran Saeqe-2 tak lain merupakan wahana uji coba struktur M-ATF.
Lepas dari segala program rahasia yang saat ini sedang dijalani, secara garis besar bisa dibilang industri kedirgantaraan Iran punya kapabilitas untuk memproduksi pesawat sendiri. Setidaknya ini dibuktikan oleh HESA yang secara resmi memegang lisensi resmi dari Antonov Rusia untuk membangun varian angkut An-140.
Tetap diperhitungkan
Memang banyak kejutan yang dilakukan Teheran agar kekuatan udara negeri ini yang seharusnya tetap diperhitungkan oleh pihak lawan. Bila dijabarkan di atas kertas, ada satu keunggulan teknis yang bisa didapat dari upaya mandiri dan rekayasa tadi. Lantaran sudah berubah dari spek aslinya, tentu lawan bakal dibuat pusing tujuh keliling untuk menebak kemampuan sesungguhnya dari senjata hasil rekayasa tadi.
Soal embargo senjata yang selama ini diterapkan, nyata-nyata tak berhasil membuat Iran benar-benar bertekuk lutut. Pasalnya tak semua negara mau patuh dengan aturan yang dicanangkan oleh AS itu. Perancis misalnya, pada tahun 2000 pernah memperbolehkan IRIAF untuk menguji kemampuan rudal udara-udara Matra Magic R550 Mk.II. dari jet Mirage F1EQ hasil hibah dari AU Irak. Tak hanya itu, rampung uji coba Paris serta merta menawari Iran dengan 62 unit Mirage F-1CT eks AU Perancis, 500 unit rudal Magic Mk.II plus dukungan suku cadang selama 10 tahun. Sayang, proyek senilai 1,8 miliar dolar ini gagal gara-gara Teheran kekurangan dana.
Diluar Perancis, masih ada Rusia yang terbilang punya nasib lebih beruntung. Walau kerap terganjal oleh jaringan intelijen AS, negeri ini sempat berhasil menjual sejumlah jet tempur MiG-29A Fulcrum ke Iran. Diluar MiG-29, pada tahun 2003 Rusia pernah pula menyodorkan 22 unit MiG-31 Foxhound lengkap dengan dukungan suku cadang. Proyek pengadaan MiG-31 ini tak kesampaian lantaran CIA turut campur tangan. (*)
Nyaris Punya F-16
Sudah bukan rahasia lagi kalau semasa Syah Iran berkuasa, Teheran adalah karib Washington. Bila situasi macam itu tetap berlaku hingga sekarang, bisa dipastikan posisinya bakal ada di atas Israel. Bayangkan saja, di era 70-an Iran dengan gampangnya kebagian jatah jet-jet tempur teranyar dari Negeri Paman Sam. F-4D/E Phantom II, F-5 Tiger, hingga F-14A Tomcat, bahkan masih jadi tulang punggung AU Iran sampai sekarang.
Diluar ketiga jet tadi, sebenarnya ada satu tipe lagi yang saat itu juga jadi incaran, yaitu F-16 Fighting Falcon. Tercatat pada 27 Oktober 1976 Pemerintah Iran pernah bersepakat buat memborong 160 unit F-16 plus opsi tambahan berjumlah 140 buah lagi. Ini artinya bila ditotal AU Iran sama saja bakal mengoperasikan 300 unit F-16 Fighting Falcon!
Pada tahun 1978, sebagian besar komponen dan peralatan perawatan tiba di Iran. Sejumlah personil darat AU Iran sempat pula mendapat pelatihan. Tapi siapa sangka, hanya dalam tempo beberapa bulan ke depan terjadi perubahan politik di Teheran. Situasi yang saat itu berubah 180 derajat, membuat pembelian berkategori "the big-deal' itu gagal total. Padahal secara teknis, Teheran sudah membayar penuh pesanan tadi. Sejumlah ground equipment F-16 yang telah ada lantas berpindah tangan ke Pakistan. Sementara General Dynamics melempar beberapa F-16 pesanan AU Iran yang telah jadi ke AU Israel. Sebagai tambahan, nasib serupa juga menimpa delapan pesawat AWACS. Wahana peringatan dini ini akhirnya dipakai oleh AU Arab Saudi. (*)
Negeri Penyangga
Selain kebutuhan pasokan minyak bumi, AS juga punya alasan lain untuk memperkuat AU Iran. Dalam pandangan strategis semasa perang dingin, disamping Turki, Iran dianggap sebagai wilayah penyangga dari kemungkinan serangan Soviet dan sekutu-sekutunya. Oleh karena itu, pasca PD II AS tanpa ragu- ragu menyuplai sejumlah pesawat tempur. Sebut saja mulai pemburu baling-baling P-47 Thunderbolt, jet intai bertempat duduk ganda RT-33 T-bird, F-84 Thunderjet, serta F-86 Sabre. Dibawah bendera bantuan senjata MAP (Military Assistance Program), semua mesin perang tadi diberikan secara gratis.
Kebagian pasokan pesawat secara cuma-cuma so pasti membuat para pilot militer Iran jadi terbiasa dengan peralatan militer berteknologi tinggi. Tak hanya itu, kedatangan pesawat-pesawat tadi juga memicu AU Iran untuk menciptakan Tim Aerobatik sendiri. Nama yang diusung adalah Golden Crown. Tim ini muncul pada tahun 1955, bersamaan dengan kehadiran jet F-84G Thunderjet. Sayangnya, grup akrobatik udara ini tak bertahan lama. Begitu Syah Iran turun tahta, maka berakhir pula kejayaan nama Golden Crown.(*)
IRIAF Frontline Fighters
Kombinasi Barat-Timur, itulah gambaran kekuatan tempur IRIAF saat ini. Selain jet-jet buatan AS peninggalan jaman Syah, negeri ini juga mengoperasikan Dassault Mirage F1EQ yang didapat dari Irak selama Operasi Enduring Freedom (1991). Jumlahnya diperkirakan mencapai 18 hingga 20 unit, baik itu varian kursi tunggal F1EQ maupun varian kursi ganda F1BQ. Jet lain yang tergolong baru adalah MiG-29A Fulcrum.
Penempur asal Rusia ini dibeli pada tahun 1990. Ada kabar beredar, setahun kemudian IRIAF mendapat tambahan 14 unit MiG-29. Selanjutnya disusul dengan enam pesawat sejenis yang datang dalam kurun waktu 1993-1994. Sayang semua info tadi tak didukung oleh bukti fotografi yang kuat. Tipe penempur terakhir yang juga patut diperhitungkan adalah Chengdu F-7M Airguard. Tercatat IRIAF mulai memakai pesawat asal Cina ini pada tahun 1987. Berikut perkiraan komposisi jet-jet tempur garis depan IRIAF saat ini.
Tipe Pembuat Jumlah
F-14A Tomcat AS 60
F-4D/E Phantom II AS 18/46
Northrop F-5A/B/E/F AS 10/25/57/18
F-7M Airguard Cina 30
MiG-29A/UB Fulcrum Rusia 35/6
Mirage F-1EQ/BQ Perancis 18-20
Shenyang J-6 Cina 12
Su-24MK Fencer-D Rusia 30
Su-25K/UBK/T Rusia 13
Inside The Persian Cat
Setelah membandingkan kemampuannya dengan McDonnell Douglas F-15A Eagle, Iran akhirnya memilih untuk memborong Grumman F-14A Tomcat sebagai penempur utamanya. Dibawah bendera proyek Persian King, pemimpin Iran kala itu, Syah Mohammad Reza Pahlevi II memutuskan untuk memborong 30 unit F-14A-GR plus 424 unit rudal AIM-54A Phoenix. Batch pertama senilai 300 juta dolar ini disetujui pada 7 Januari 1974.
Hanya dalam tenggang waktu beberapa bulan kemudian, tepatnya bulan Juni kembali IIAF (sebutan AU Iran sebelum revolusi) membeli 50 unit jet sejenis serta tambahan 290 buah Phoenix. Total jenderal dana yang mesti dikucurkan Teheran mencapai dua miliar dolar. Asal tahu saja, sepanjang sejarah AS, ini merupakan pembelian terbesar untuk satu jenis perangkat militer oleh negara asing. Pada tahun 1976 muncul berita, Iran kembali bakal memembeli tambahan 70 unit Tomcat. Rencana ini pupus lantaran Shah keburu terjungkal dari kekuasaannya.
Lepas dari lika-liku pembelian, secara garis besar kemampuan Tomcat pesanan Iran setara dengan milik AL AS. Mulai dari sumber tenaga turbofan Pratt&Whitney TF-30, perangkat pengidentifikasi kawan-lawan (IFF), radar AWG-9, hingga perangkat antiacak elektronik (electronic counter-measure), semua sesuai standar AL AS. Khusus untuk perangkat IFF tipe APX-81-M1E yang saat itu tergolong barang rahasia, AS sengaja mengubah kinerjanya supaya hanya bisa mendeteksi jet-jet buatan Blok Timur saja.
Bergeser ke perbedaan, untuk yang satu ini terbilang minim. Urusan kamuflase jelas sudah pasti beda. F-14 pesanan Iran mengadopsi kelir loreng ala padang pasir. Selanjutnya untuk perangkat pengisian bahan bakar di udara tak dilengkapi dengan tutup pelindung. Terakhir, semua armada Tomcat Iran tak punya sistem bantu pendaratan AN/ARA-62 yang notabene hanya diperlukan bagi pesawat yang kerap beroperasi dari dek kapal induk. (*)
0 komentar:
Posting Komentar